ANTS
Hari ini ada ekskul basket. Aku mengayuh sepedaku secepat
mungkin karena aku sudah terlambat untuk mengikuti ekskul itu. Sesampainya di
sana, aku lumayan marah karena ternyata ekskul diundur setengah jam. “Lalu
untuk apa aku ngebut tadi? Tapi lumayan juga, aku jadi bisa istirahat sebentar
setelah bersepeda yang lumayan melelahkan.” pikirku dalam hati. Hari ini ekskul
basket putri digabung dengan ekskul basket putra. Sehingga lapangan basket
menjadi lebih ramai dari pada biasanya.
Aku Alekzia, salah satu anggota ekskul basket putri yang
tidak terkenal akibat kepayahanku bermain basket. Berbeda dengan teman-temanku
yang sengat terkenal karena bakat-bakat basket mereka. Aku sering tenggelan
dalam ketenaran mereka, sehingga aku sering dianggap tidak ada. Tetapi aku
tetap mencintai basket, walaupun sampai sekarang aku masih tergolong payah
balam bidanng olahraga ini.
Angota ekskul basket diperintahkan untuk berkumpul, yang
menandakan ekskul akan segera di mulai. Saat berkumpul, seperti biasa aku bisa
melihat beberapa teman sebayaku dan kakak kelas yang terkenal akibat
prestasi-prestasi mereka di bidang basket. Tetapi ada sebuah wajah asing di
antara mereka. Wajah itu sepertinya pernah kulihat sebelumnya. Aku diberitahu
oleh temanku bahwa dia adalah kakak kelas baruku yang baru pindah beberapa hari
kemarin.
Ekskul dimulai denggan pemanasan yang cukup keras dan hampir
membuatku pingsan kelelahan. Kami memang jarang bergabung dengan ekskul purta,
sehingga kami kewalahan mengikutu gerakan-gerakan mereka yang cepat dan
bertenaga. Tetapi, anak-anak putri tidak mau kalah denggan anak-anak putra,
walaupun itu membuat kami kelelahan.
Saat ekskul dibubarkan, anak-anak putri langsung pulang
walaupun hujan turun. Tetapi aku tidak bisa karena aku tidak membawa jas hujan,
sehingga tidak mungkin aku menerobos hujan hanya denggan sepeda bututku ini.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menunggu hujan sedikit reda. Aku menunggu sambil
melihat anak-anak purta bermain basket. Mereka
semua tidak langsung pulang, tetapi menyempatkan diri untuk bermain
basket walaupun cuma sebentar.
Aku menonton mereka bersama kakak kelasku yang sedang
menunggu jemputan. Kami ngobrol tentang permainan anak putra yang menyebabkan
basket putri tertinggal jauh di belakang mereka. Dan dari percakapan yang
sedikit melenceng dari topik sebelumnya, akhirnya aku tahu bahwa kakak kelas
baruku itu bernama Rian dan duduk kelas XII IA. 4. Setelah setenggah jam,
akhirnya hujan reda. Anak-anak putra menghentikan permainan mereka dan mulai
bersiap-siap pulang. Aku yang sudah siap dari tadi, langsung pulang dengan
sepedaku.
Saat di jalan, sepertinya ada yang mengikutiku dari belakang
menggunakan sepeda motor. Sepeda motor itu menyesuaikan kecepatan sepedaku.
Sesekali aku mempercepat sepedaku. Dan sepeda motor di belakangku juga
mempercepat sepeda motornya untuk menyusulku. Karena bosan dan juga lelah
bersepeda, aku akhirnya bersepeda secara santai.
Sepeda motor itu mulai maju dan berjalan pelan di sampingku.
“Udah cape ya?” tanya orang yang mengendarai sepeda motor di
sampingku.
Orang itu menggunakan helm dengan kaca yang cukup gelap
sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya. Aku hanya membalas pertanyaan orang
itu dengan senyum sinis. Aku merasa tidak perlu meladeni orang yang tidak aku
kenal. Sebetulanya aku merasa terganggu oleh orang di sampingku ini, tetapi aku
harus bagaimana? Aku harus mengusirnya, dan menyuruhnya untuk tidak
mengikutiku. Iya kalau dia memang benar-benar mengikutiku, kalau tidak, bisa
malu aku.
“Aku Rian, kamu tadi yang ikut ekskul basketkan?” kata orang di sampingku sambil membuka kaca
helmnya.Ternyata benar, orang ini adalah kakak kelas baruku, yang juga angota
baru ekskul basket di SMAku.
“Hai, aku Alekzia. Kamu bisa memanggilku Zia. Iya, kamu
murid ya?” tanyaku lebih sopan karena ingin memperbaiki sikapku yang kurang
sopan sebelumnya.
“Ya begitulah. Aku kelas XII IA.4, kamu kelas berapa?”
tanyanya yang terdenggar seperti basa-basi saja.
“X.3. Aku duluan ya kakak, rumahku tingal belok kanan di
depan. Permisi!” kataku sambil memperlambat sepedaku dan siap-siap berbelok.
“Okey, baiklah. Dadah!!” kata kakak Rian sedikit kaget
karena aku tiba-tiba memperlambat sepedaku dan sudah hendak meyebrang jalan.
Aku hanya melambaikan tangganku sebentar, dan langsung menyebrang
jalan. Sesaat aku melihat sepeda motor milik kak Rian sudah sudah jauh dan
hapir tidak terlihat. “Kenapa dia mengikutiku? Apakah dia kasihan kepadaku yang
bersepeda sendirian tepat setelah hujan lebat reda? Atau dia hanya inggin
basa-basi?” pikirku sambil menghentikan sepedaku di depan rumah yang sederhana
(rumahku).
Paginya aku berangkat sekolah seperti biasa. Dan saat
melewati pintu gerbang, aku melihat kak Rian sedang di lobi bersama
temen-temannya. Dia melihat ku dan tersenyum manis ke padaku. Aku membalas
tersenyum dan segera menuduk. Aku rasa mukaku mulai panas. Jangan-jangan mukaku
merah hanya karena senyuman kak Rian yang begitu manis. Oh tidak!!
Satu minggu berlalu setelah pertemuan di lobi kemarin,
tetapi sampai sekarang aku tidak lagi bertemu kak Rian. Ekskul basket sekarang
berjalan sendiri-sendiri lagi, tidak digabung seperti minggu sebelumnya.
Sehingga aku tidak bisa melihat kak Rian bermain basket. Sedangkan di jalan aku
tidak pernah berpapasan dengan kak Rian lagi. “Apakah yang kemarin dia
menikutiku saja, sedangkan rumahnya tidak melewati jalan ini? Tapi kenapa dia
mengikutiku?” tanyaku dalam hati.
Waktu malam sebelum tidur, aku ingat punggung kak Rian yang
sedang bermain basket, kak Rian yang mengajakku mengobrol di jalan, dan senyumnya
yang begitu manis di lobi sekolah. Aku tidak bisa melupakan semuanya. Tiba-tiba
saat aku mengingat kak Rian, ada suatu perasaan aneh di hatiku. Perasaan rindu
yang sanggat dalam, bukan perasaan rindu pada orang yang baru beberapa kali
bertemu. Tetapi lebih ke perasaan rindu kepada seseorang yang sangat berarti
bagiku. Seseorang yang telah mengubah hidupku. Seseorang yang sangat kunantikan
sejak lama.
Hari Sabtu sekolah di pulangkan lebih awal. Aku sedang
bersiap-siap untuk pulang cepat, agar bisa bermain lebih lama dengan adikku yang
menunggu di rumah. Aku memang selalu bermain dengannya. Dan adikku tahun ini
berumur 10 tahun.
Saat ingat adiku lahir 10 tahun lalu, aku juga menginggat
sesosok anak laki-laki kecil berambut sebahu yang meninggalkanku. Aku hanya
dapat menginggat punggung anak itu dan sulit menginggat wajahnya.Setiap
mengenang anak kecil itu, hatiku merasakan kerinduan yang sangat besar. Rasa
rindu seperti tadi malam saat mengingat kak Rian.
Tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku, dan lamunanku barusan
langsung pecah berantakan. Aku berbalik hendak memarahi orang yang
menghancurkan lamunanku barusan. Tetapi saat aku berbalik yang kulihat adalah
kakak kelas yang memberikanku sebuah surat bersampul hijau, warna kesukaanku.
Saat aku menerimanya, kakak kelas yang memberikan surat langsung pergi. Aku
membuka surat itu yang bertuliskan;
Untuk Zia,
Aku tunggu kamu
di lapanggan basket sekarang.
Karenza
Saat membaca surat
itu, aku langsung ingat semua kenanggan manisku bersama anak kecil bernama
Karenza 10 tahun lalu. Aku mengingat semua tentang anak kecil itu, dari
wajahnya, matanya, hingga senyumnya yang begitu manis.
Aku langsung memasukan barang-barangku ke dalam tas secara
sembaranggan. Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Aku langsung lari ke lapanggan
basket di belakang sekolah. Aku melupakan semua rencanaku sebelumnya, dan lari
secepat mungkin tanpa mempedulikan tatapan orang-orang di sekitarku.
Sesampainya aku di lapangan, aku tidak melihat seorangpun di
sini. Aku berlari ke tenggah lapanggan dan mulai berputar-putar mencari sosok
bernama Kareza. Tetapi hasilnya nihil. Tidak ada seorangpun di lapanggan ini.
Aku akhirnya jatuh terduduk di tengah lapanggan, dan air mata tidak dapat aku
bendung lagi. Aku menanggis sesenggukan di tengah lapangan basket sendirian.
Beberapa menit kemudian, aku mengusap air mataku.
Pandangganku kembali pulih, dan aku dapat melihat semut di depanku sedang
mendekati air mataku yang jatuh tadi. Aku masih sesenggukan akibat tangisnku
tadi, tapi aku dapat sedikit tersenyum melihat semut-semut itu mulai
mengerumuni air mataku. Aku mengingat kata-kata Karen 10 tahun lalu. Perkataan
dari anak kecil yang belum tahu apa arti semua kalimat yang dikataannya sendiri,
dan itu cukup menghiburku.
Saat aku hendak ke parkiran, aku melihat kak Rian sedang
bersama gadis cantik yang juga kakak kelasku. “Pasangan serasi.” kataku lirih.
Sepertinya kak Rian melihatku, tetapi aku tidak perdulikan.
Aku tidak mau kak Rian melihat wajahku yang bengkak habis menangis. Aku
melewatinya dengan terus menunduk.
Saat di rumah, adikku mengetuk pintu kamarku dan melongokan
kepalanya secara perlahan.
“Ada apa dek?” tanyaku pada adikku yang polos itu.
“Temen kakak dateng.” kata adikku masih dengan posisi yang
sama.
Aku langsung turun dari lantai dua dan mendapati kak Rian
sedang duduk di ruang tamu. Aku kaget melihat kak Rian berada di rumahku.
Bagaimana dia tau rumahku di mana? Aku memberikannya senyuman terbaikku saat
dia mendongak untuk melihatku.
“Hai, ada perlu apa kakak ke sini?” tanyaku setelah duduk di
hadapan kak Rian.
“Aku mau ajak kamu pergi. Mau ya!” kata kak Rian sedikit
memaksa.
“Boleh, tapi ke mana?” tanyaku bingung.
Sekarang aku sudah berada di SD tempatku sekolah dulu. SD
ini tidak terlalu jauh dari rumahku. Sekarang sudah pukul 16:30, sehingga SD
ini sudah sepi dari anak yang kadang bermain di sini.
Saat aku melewati beberapa tempat di SD ini, aku kembali
teringat kenanganku bersama Karenza. Lagi-lagi mataku berkaca-kaca mengenang
semua kenanggan itu. Walau sudah 10 tahun lalu, aku masih inggat dengan jelas
semua apa yang kami lakukan di sini.
Kak Rian membimbingku ke arah lapangan di tenggah-tenggah
sekolah. Seandainya kak Rian tidak menariku barusan, mungkin aku sudah lupa
datang ke sini bersamanya. Saat di tenggah lapanggan, aku melihat semut-semut
yang sedang mengerumuni cairan. Dan semut-semut itu membentuk hati. Aku menoleh
ke kak Rian, air mataku lagi-lagi pecah seperti tadi siang. Tetapi bedanya
sekarang ada orang di dekatku yang memeluku dengan erat. Aku menumpahkan semua
ke rinduanku selama10 tahun ke pada pemuda di depanku yang bernama Rian Karenza
.
Karenza mebiskan kata-kata di telingaku;
Sayangku kepadamu
melebihi seluruh jumlah semut di dunia ini.
Aku mendongak menatap wajah pemuda di depanku. Wajah yang
penuh ketenanggan dan kedamaian. Tetapi di balik ekspresi wajahnya, aku tahu
bahwa pemuda di depanku ini juga merasakan hal yang sama denganku. Dia mengusap air mataku, menatap mataku dalam
dan penuh perasaan.
Aku merindukanmu.
Aku tidak akan pegi meninggalkanmu lagi. Aku sayang kamu.
Setelah mengatakan itu, dia mencium keningku dan memeluku
erat.
“Kenapa tadi siang kamu meyuruhku ke lapangan basket?” kataku
saat mengingat kejadian siang tadi.
“Em.. Aku hanya ingin tahu kau masih mengigatku atau tidak.”
kata Karen seikit pelan.
“Maksudmu, aku tadi siang di tes? Kamu tahu nggak gimana
perasaan aku saat nggak nemuin seorangpun di sana?”
Karen hanya diam.
“Aku binggung. Tapi..” kataku terputus.
“Tapi..?” ulang Karen.
“Tapi aku melihat semut kecil di depanku. Dan aku inggat
kata-kata kamu.” kataku tersenyum.
Karen ikut tersenyum.
Aku memeluknya kembali sambil tersenyum, dan dia membalas
pelukanku.
“Karen, apa hubungan kamu dengan gadis tadi siang?” tanyaku
saat pulang kerumah.
“Dia pacarku. Engga bercanda. Dia itu ketua kelasku dan dia
lagi bantu aku buat ngurus data-dataku gitulah. Kenapa, cemburu ya?” kata Karen
sambil meledekku.
“Engga, kalian Cuma kelihatan cocok tadi.” jawabku jujur.
“Bagus dong. Besok aku mau nembak dia ah… Kamu udah
ngrestuikan?” kata Karen meledeku lagi.
Aku membalas ledekan itu dengan cubitan kecil di tangan
Karen.
“Au.. Kok nyubit sih? Iya, iya, aku enggak akan pindah ke
lain hati kok.” katanya sambil menggengam tangganku dan memandang mataku dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar